Senin, 03 Mei 2010

Politik Praktis Rugikan NU

Oleh: Sholihin Hidayat


PILPRES 2009 menyisakan pekerjaan rumah bagi warga NU. Dukungan (kiai) NU terhadap pasangan JK-Wiranto, yang ternyata kemudian kalah, adalah salah satu persoalan yang perlu mendapatkan klarifikasi, bukan saja soal kekalahan, tapi juga tentang mengapa NU selalu terlibat dalam politik praktis, dukung-mendukung, dan sebagainya.

Ketika sudah mentok -meminjam istilah Syamsuddin Haris (Jawa Pos, 11/7)-, ijtihad politik tentu akan membawa implikasi yang luas bagi perjalanan NU di kemudian hari. Karena itu, ada yang minta agar NU kembali merumuskan khitah '26 yang multitafsir.

Ada yang menganggap kepemimpinan KH A. Hasyim Muzadi terlalu sering bersentuhan dengan politik praktis sehingga mengabaikan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang menjadi basis jamiah, seperti pendidikan, mabarrot, dan dakwah.

Keterlibatan NU dalam politik makin tampak belakangan ini. Beberapa di antara keterlibatan itu, khususnya yang melibatkan Hasyim sebagai orang nomor satu di NU, sering berakhir dengan kekalahan. Yang terbaru adalah kekalahan pasangan JK-Wiranto dalam pilpres 2009.

Syahwat Politik

Kekalahan demi kekalahan itu harus menjadi pelajaran yang berharga, khususnya bagi mereka yang dipercaya memimpin NU. Tidak sekadar mengevaluasi pelaksanaan khitah 1926 yang diputuskan oleh Muktamar NU 1984, tapi perlu juga meninjau apakah terus terlibat dalam politik praktis tidak malah membuat langkah NU semakin terseok-seok dan lebih pragmatis.

Politik kekuasaan sama sekali tidak menguntungkan NU, terutama dalam upaya menyebarkan paham ahlussunnah waljamaah dan menggiatkan pendidikan SDM agar mampu bersaing di dunia global.Rambu-rambu yang diberikan oleh khitah '26 bahwa NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana, ternyata yang menjadi kebalikannya, yakni NU berada di mana-mana, tapi tidak mendapatkan apa-apa.

Malah, NU menderita kerugian besar. Banyak kader NU yang disiapkan sejak dini justru lari masuk partai politik. Syahwat politik warga NU tak bisa dibendung.

Tak terhitung berapa banyak biaya, tenaga, pikiran, dan energi yang dicurahkan oleh NU untuk membesarkan kadernya. Tapi, ketika sudah jadi, kader lebih tertarik masuk ke gelanggang politik praktis. Saat sudah menduduki jabatan penting, mereka tak memberikan kontribusi dan kemanfaatan bagi NU. Yang sering terjadi, justru mereka memanfaatkan dan menumpang kendaraan NU.

Begitu juga ratusan tokoh NU yang menjadi anggota DPRD/DPR. Saat menjelang pemilu, mereka minta didukung NU. Tapi, begitu jadi, mereka pergi meninggalkan jamiah tersebut. Itu selalu terulang dalam setiap pemilu/pilkada.

Rais Aam PB NU (almaghfurlah) KH Achmad Shiddiq pernah berpesan dalam pembukaan Muktamar Ke-28 NU di Krapyak, Jogjakarta (1989), "NU ibarat kereta api, bukan taksi yang bisa dibawa sopir ke mana saja. Rel NU sudah tetap." Jadi, NU adalah kereta api yang sudah punya track tetap dan tidak bisa dipindah-pindah seenaknya.

Rugikan NU

Awalnya, keterlibatan NU dalam politik praktis adalah tuntutan sejarah. NU berhasil membuktikan diri sebagai kelompok yang mampu berkiprah di gelanggang politik praktis. Kemudian, kehidupan politik NU dirasa sebagai perluasan wawasan (Dr M. Ali Haidar, 1994), terutama di era '50-an. Tapi, perkembangannya kini menujukkan realitas lain.

Menguatnya orientasi politik tersebut mengakibatkan NU terjerumus ke dalam pola yang serbapraktis dan selalu menggunakan kalkulasi politik dalam setiap melangkah dan memperebutkan kekuasaan. Mau tidak mau, NU selalu mengaitkan segala tindakannya dengan kepentingan dan kalkulasi untung rugi dari segi politik semata (Haidar, halaman 210).

Padahal, NU sebagai jamiah keagamaan selama ini selalu menempatkan politik pada aspek sekunder, bukan primer. Orientasi dan tujuan utama NU adalah membina umat, mengembangkan dan melestarikan tradisi keagamaan menurut ajaran mazhab ahlussunnah waljamaah, mendidik umat agar terus memegang teguh ajaran nabi, memakmurkan umat melalui kegiatan-kegiatan sosial, serta meningkatkan kualitas hidup jamaah NU sesuai dengan khitah dan karakteristik NU.

Jika kemudian beralih track dan lebih menuruti syahwat politik, NU akan kehilangan arah dan jati diri. NU adalah jamiah diniah yang sudah punya rel. Sampai kapan pun, sepanjang kita tetap konsisten melaksanakan khitah, di track itulah NU berjalan menggapai cita-cita.

Hadratusheikh KH Hasyim Asy'ari secara spesifik berpesan, "Kita menemukan bahwa peran masyarakat muslim dalam arena (politik, Red) sangat tidak penting. Pengaruh agama dalam arena politik di Indonesia sangat lemah, bahkan mati. Bahkan, ada bahaya yang lebih besar lagi, yaitu Islam telah digunakan oleh sebagian orang sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan dan harapan-harapan mereka, baik dalam bidang politik maupun pribadi. Sangatlah berbahaya bila masyarakat memandang mereka dan tindakannya tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagai muslim (Drs Lathiful Khuluq MA, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy'ari, 2000)."

Sejarah membuktikan, semakin jauh NU masuk ke kancah politik praktis, terbengkalailah tugas-tugas utama NU untuk membangun umat, mencerdaskan bangsa, serta mengangkat harkat dan martabat umat. Politik praktis makin jauh membawa umat untuk menggunakan kalkulasi untung rugi.

Kasus pilgub Jatim dan pilpres yang baru saja berlalu harus jadi pelajaran berharga, khususnya bagi generasi penerus NU. Muktamar NU 2010 harus bisa merumuskan secara jelas khitah '26 agar tidak multitafsir. Ijtihad politik yang sudah mentok harus mampu menyadarkan kita semua bahwa berpolitik praktis dengan melibatkan NU secara langsung bakal merugikan NU untuk jangka panjang.

Diperlukan komisi politik yang bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan politik. Anggotanya bisa diambil dari para pakar politik, public policy, dan public relation serta para kiai NU dan ahli lain.

Aktualisasi NU tak lagi harus melalui gelanggang politik praktis, melainkan aktivitas-aktivitas keagamaan dan kesosialan yang belakangan sering ditinggalkan. Kita yakin bahwa NU akan tetap jaya dan eksis meski para pengelolanya terus berganti. Semoga!

*) Sholihin Hidayat, mantan Pemred Jawa Pos, pemerhati masalah NU.
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 30 Juli 2009

0 komentar:

  © Blogger template 'Isolation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP