Jumat, 18 Juni 2010

NU dan Godaan Pilkada

*Oleh: Said Aqiel Siradj

Hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang marak saat ini cukup berpengaruh kepada NU. Kader-kader NU bermunculan untuk tampil dan berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal itu.

Sejumlah masalah muncul. Tak sedikit pula dari pilkada itu berakhir dengan kekerasan. NU kena getahnya. Tarik-menarik kepentingan politik praktis yang melibatkan itu pun tak terhindarkan. Pilkada riskan membawa beban polarisasi dalam masyarakat yang menumbuhkan konflik, persaingan tidak sehat, tumbuhnya broker-broker amatiran, serta ganasnya money politics.

Godaan politik praktis tampak masih begitu besar dan mengusik NU. Perdebatan kalangan Nahdliyin masih panas seputar boleh atau tidaknya para pemimpin struktural NU terjun ke dunia politik praktis. Kesalahpahaman khitah, tampaknya berangkat dari ambiguitas konseptualisasinya ketika dipertentangkan dengan kenyataan. Ini yang masih terasa memusingkan warga Nahdliyin dengan kontradiksi sikap politik sebagian pengurus NU.

Di sisi lain, massa NU saat ini terlihat sudah cair, sehingga tidak bisa diwadahi dalam satu parpol. Tidak seperti dahulu, sikap politik massa NU cenderung ke partai tertentu saja, terutama saat NU menjadi parpol.

Tiga Pilar NU

Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, NU harus mampu menyinergikan antara tiga peran utamanya, yaitu menanamkan corak keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran, memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta mempertahankan dan membangun bangsa dan negara.

Tiga pilar utama peran NU tersebut kemudian disarikan dalam rumusan strategi politis sebagai senjata top-down, selain senjata bottom-up melalui pemberdayaan dan pendekatan sosiokultural. Strategi politik yang dimaksud, yaitu pertama, politik kebangsaan. NU punya tanggung jawab mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi apa pun.

Kedua, politik kerakyatan. NU memahami agama tidak melulu sebagai "agen surga", tetapi lebih sebagai agen perubahan sosial. Politik kerakyatan menemukan bentuknya dalam pemberdayaan masyarakat, pendampingan dan perjuangan atas hak-hak rakyat dan kaum tertindas. Peningkatan dan pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society. Ketiga, politik kekuasaan atau bisa disebut politik NU. Guna memuluskan perjuangan mewujudkan civil society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam perpolitikan.

Dalam hal politik praktis, PB NU telah tegas menentukan aturan main buat pengurus NU dan warga Nahdliyin. Aturan tersebut adalah bahwa warga NU bebas memilih, institusi NU atau simbol dan fasilitas NU tidak boleh dilibatkan, pengurus harian NU atau badan otonom harus nonaktif selama proses pencalonan. Apabila yang bersangkutan terpilih, otomatis lepas dari pengurus karena tidak boleh dirangkap dengan jabatan publik. Apabila tidak terpilih, dia boleh kembali dengan persetujuan pihak yang dulu memilih.

NU sebagai organisasi tidak mungkin "menghilangkan" hak seorang warga negara untuk berpolitik. Yang bisa adalah mengatur mekanismenya. Sehingga, masalahnya bukanlah "syahwat" politik atau "impotensi politik", melainkan pengaturan mekanik yang sinergis.

Banyaknya tokoh NU yang ditarik oleh kepentingan politik praktis tidak mengindikasikan turunnya martabat NU selama aturan main dipakai. Terlalu banyak pihak yang sangat khawatir kalau NU bersatu dalam satu titik pilihan menciptakan keruwetan tersendiri yang kadang-kadang menggunakan orang "dalam" NU.

Politik Kerakyatan

Jalur politik memang menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi terciptanya bangsa yang beradab. Politik NU adalah strategi aktualisasi peran NU dalam ranah politik bangsa ini. Persoalan muncul dalam hal memahami politik kekuasaan NU. Merujuk khitah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik dan kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada perannya sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik sebagai hasil pembacaan utuh atas problem bangsa. NU semestinya mampu menempatkan diri kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol.

Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak akan terabaikan. Kekeliruan menerjemahkan politik kekuasaan NU menghadirkan fenomena politisasi NU. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk memuaskan hasrat politik dan kepentingan mereka sendiri. Peran NU sedemikian rupa ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi pribadi, kelompok, dan golongan.

Tampaknya, perwujudan politisasi NU dalam politik praktis masih sangat kental seperti terlihat kasatmata pada momen pemilihan kepala daerah. Murni terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-annya adalah penyimpangan khitah NU, kalau bukan pengkhianatan.

Memilih khitah berarti tidak menoleransi "pengkhianatan" atasnya. Jangan sampai khitah NU dituduh hanya sekadar kedok untuk melindungi syahwat politik orang tertentu. Lebih jauh, tuntutan dipenuhinya "takdir" khitah ialah dalam rangka mempertegas garis gerak sosiopolitik NU, demi tercapainya pencerahan dan transparansi politik bagi bangsa. Tanpa ketegasan, khitah akan berhenti sebatas wacana di satu sisi, dan makin meningkatnya libido politik sebagian nakhoda NU untuk mempolitisasi NU guna kepentingan diri sendiri.

Walhasil, NU haruslah tetap menjadi ormas garda depan yang mengukuhkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan. Dan ini, harus diawali dengan bersatunya warga dan elite-elite NU, menjauhi persengketaan dan perburuan jabatan instan yang hanya menjadikan pelemahan terhadap NU. NU adalah representasi "Islam Indonesia" yang harus mampu ikut serta membentengi bangsa ini dari segala bentuk ancaman, termasuk soal radikalisme dan terorisme. (*)

*) Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, ketua umum PB NU
Selengkapnya >>>

Rabu, 02 Juni 2010

Keniscayaan Islah Politisi NU

Oleh Hasibullah Satrawi

SAYA sangat bahagia dengan dihidupkannya lagi upaya islah di PKB dan partai-partai lain yang masih terkait erat dengan NU, seperti PKNU (Jawa Pos, 17/5). Semoga islah itu tak hanya terjadi di lingkungan NU, melainkan juga menyentuh rumah besar umat bernama Nahdlatul Ulama.

Dalam konteks ke-NU-an mutakhir (termasuk di dalamnya PKB, PKNU, dan NU sebagai organisasi), islah sangat dibutuhkan. Sebab, PKB dan PKNU sebagai partai yang notabene digerakkan oleh tokoh-tokoh NU sarat dengan suasana konflik yang membuat kedua partai tersebut seperti macan ompong.
Bahkan, suasana konflik belakangan juga terjadi di NU sebagai organisasi, terutama pascamuktamar ke-32. Perbedaan-perbedaan yang menggantung hingga hari ini tidak jarang disikapi dengan cara-cara politis, seperti upaya pelaksanaan muktamar luar biasa (MLB), penolakan terhadap pengurus besar NU (PB NU), dan pembekuan.

Islah Menyeluruh

Semua keadaan yang dijelaskan sebelumnya membutuhkan islah secara menyeluruh. Setidak-tidaknya, islah menyeluruh harus dilakukan dalam tiga hal sebagaimana berikut. Pertama, islah dalam konteks kekuatan politik NU, seperti PKB dan PKNU. Diakui atau tidak, PKB dan PKNU tetap dianggap publik sebagai partai orang-orang NU. Sebab, dua partai tersebut didirikan dan dibesarkan oleh tokoh-tokoh NU.

Sangat disayangkan, PKB sebagai rumah politik NU mati-hidup dengan berkonflik dan sangat tidak kondusif. Perpecahan pun terjadi di mana-mana. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh politik NU membangun rumah politik baru yang dikenal dengan nama PKNU.

Akibat dari semua yang sudah terjadi sama-sama bisa dilihat saat ini. Perolehan suara PKB merosot tajam dalam Pemilu 2009 dan saat ini hanya menjadi partai "benalu" yang tak sanggup hidup di luar pemerintahan. PKNU mengalami nasib yang jauh lebih mengenaskan.

Semua akibat buruk rusaknya rumah politik NU tidak berhenti sampai di situ. Sebab, penghuni rumah rusak itu secara perlahan mulai kembali ke lingkungan NU sebagai organisasi keagamaan yang asri dan tenang.

Mungkin mereka datang ke NU dengan maksud baik (tidak bermaksud merusak NU dengan cara-cara yang bersifat politis). Namun demikian, mereka kembali ke NU dengan membawa serta kebiasaan berpolitik yang ada (termasuk, berpolitik di rumah rusak). Hingga akhirnya, NU yang asri pun mulai bergejolak dan menyikapi dengan cara-cara politis.

Singkat kata, rusaknya rumah politik NU berdampak buruk kepada NU sebagai organisasi keagamaan. Akibatnya, NU mengalami suasana bernuansa konflik seperti sekarang.

Karena itu, islah di rumah politik NU menjadi harga mati ke depan. Tokoh-tokoh politik NU harus menyatukan barisan dan berada dalam satu rumah, entah itu PKB, PKNU, ataupun partai lain. Dengan demikian, kekuatan poplitik NU tetap solid. Yang tak kalah penting, suasana dalam NU (sebagai ormas keagamaan) tetap tenang, asri, dan jauh dari hiruk pikuk perpolitikan.

Kedua, islah dalam konteks NU sebagai jamiah (organisasi). NU hadir dengan membawa cita-cita moral yang sangat luhur, yaitu memberdayakan umat melalui keteladanan para ulama dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, yang pertama dan terutama bagi NU adalah umat dan bangsa.

Karena itu, islah menjadi harga mati bagi perjuangan NU ke depan. Tepatnya islah dalam rangka mengembalikan NU kepada cita-cita dan visi perjuangannya, yakni memberdayakan kehidupan umat dan menjaga keutuhan bangsa.

Pada umumnya, warga NU berada di pedesaan dan pedalaman. Adalah kewajiban perjuangan NU selalu hadir bersama mereka dan menghadapi persoalan-persoalan riil hingga mereka terberdayakan secara ekonomi dan tercerahkan secara kebangsaan.

Ketiga, islah dalam konteks NU sebagai jamaah (komunitas). NU selama ini dikenal sebagai komunitas santri dan kiai. Tentu sebutan itu tidak harfiah (benar-benar kiai dan santri). Faktanya, tidak sedikit orang NU yang tidak berasal dari kalangan kiai maupun berlatar belakang santri (pernah menempuh pendidikan di pesantren).

Sebutan komunitas santri dan kiai merujuk kepada sejumlah nilai dan tradisi agung yang senantiasa dijadikan pedoman di lingkungan NU, yaitu tradisi kesantunan, kepatuhan, keilmuan, kealiman, kerendahan hati, dan saling menghormati satu sama lain. Sejumlah nilai dan tradisi tersebut senantiasa dilakukan di kalangan pesantren, baik antara santri dan santri, santri dan kiai, ataupun antara sesama kiai.

Karena itu, NU dikenal sebagai pesantren besar dan pesantren dikenal sebagai NU kecil. Penyebabnya, tak lain, NU sebagai jamaah menganut sistem nilai dan tradisi di pesantren, tempat berkumpulnya para santri dan kiai. Karena itu, NU dikenal sebagai komunitas santri dan kiai.

Sangat disayangkan, suasana mutakhir di lingkungan NU perlahan mulai terasing dari nilai-nilai dan tradisi tersebut. Akibatnya, terjadi berbagai bid'ah sayyi`ah (perilaku buruk dan mengada-ada), seperti pembangkangan terhadap kiai sepuh dan lain sebagainya.

Keniscayaan ke Depan

Islah adalah keniscayaan bagi NU ke depan. Baik NU dalam arti organisasi (jamiah), komunitas (jamaah), ataupun kekuatan politik. Tanpa islah, NU dalam arti organisasi akan diacuhkan oleh umatnya sejauh NU mengacuhkan nasib mereka. Tanpa islah, NU dalam arti komunitas akan mengalami krisis identitas bila melepaskan diri dari nilai-nilai dan tradisi di pesantren. Lalu, tanpa islah, NU dalam arti kekuatan politik bakal semakin lemah dan tidak dianggap dalam kancah perpolitikan nasional.

NU harus kembali menjadi jamiah (organisasi) yang bervisi keumatan dan kebangsaan dengan mengacu ke tata nilai dan tradisi yang berlaku di kalangan pesantren. Yakni, tata nilai yang lebih mengutamakan islah daripada firqah (perpecahan), lebih mengutamakan kejamaahan (kebersamaan) daripada mu'aradhah (percekcokan), dan lebih mengutamakan tabayun daripada MLB ataupun pembekuan.

*) Hasibullah Satrawi, alumnus Al Azhar Kairo, Mesir, kini aktif sebagai peneliti di Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.
Sumber: Jawa Pos [ Rabu, 19 Mei 2010 ]
Selengkapnya >>>

Kamis, 27 Mei 2010

Menimbang Komitmen Kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU) Dalam Arus Ideologi Transnasional

Oleh: M. Nuruzzaman, M.Si*

“Tanpa Pancasila, Negara RI tidak pernah ada”
“Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam”.

KH. Abdurahman Wahid.
(Dalam; Douglas. E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Paska Asas Tunggal di buku Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil).


NU sekarang berada dalam kepungan dua ekstremisme. Pertama, fenomena radikalisme agama yang dibawa kelompok Islam yang mengedepankan jalan kekerasan dalam mengekspresikan nilai keagamaannya. Mereka ada yang berasal dari luar negeri, menggunakan ideologi kekerasan demi tegaknya Khilafah Islamiyah di Indonesia. Kedua, massifnya kelompok liberal agama yang melakukan dekonstruksi dan profanisasi "doktrin" agama yang membawa pada konsep desakralisasi dan relativisme kebenaran agama.

Kedua kelompok ini sama-sama berbahaya. Untuk kelompok pertama, mereka seperti kaum “Khawarij” yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tidak perduli apakah cara itu membahayakan dan menyengsarakan orang lain. Lebih ekstrem lagi, mereka memandang non-muslim sebagai orang yang darah, harta, dan harga dirinya "halal", boleh dibunuh, dijarah, dan dilecehkan. Sedangkan kelompok kedua, mereka mau membunuh sendi-sendi keagamaan secara pelan-pelan. Umat Islam dijauhkan dari kebenaran agama. Agama tidak lebih hanya sekadar "keyakinan teologis" yang bersifat private, tidak sampai masuk wilayah publik. Umat Islam harus menghindari fanatisme teologis, mereka harus masuk dalam komunitas universal umat manusia tanpa disekat oleh eksklusivitas agama.

Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online, 24 & 25 April 2007. PBNU meminta masyarakat Indonesia hati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia.

Menurut Kiai Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup. Ideologi transnasional dipersoalkan antara lain karena: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (jalan hidup); (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

KH. Hasyim Muzadi pun gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Mereka itu, tandas Kiai Hasyim, juga telah mengambil-alih masjid-masjid yang dulu didirikan warga NU. Hasyim meminta warga NU menjaga masjid-masjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah upaya provokasi mereka di tengah-tengah masyarakat terhadap ritual dan keyakinan keagamaan Ahlussunah Waljama’ah yang biasa dilakukan oleh masyarakat NU dan pesantren sepert tahlil, membaca barzanji, manaqib dan lain-lain dianggap sebagai perbuatan sesat, musyrik, bid’ah dan haram, belum lagi upaya merebut tempat-tempat strategis keagamaan seperti masjid, mushola dan madrasah, majlis taklim yang sebelumnya dimiliki masyarakat setempat kemudian “diislamkan” sesuai keyakinan kelompok mereka, yaitu Wahhabi.

Perebutan ini dilakukan dengan melalui administrasi formal, ini yang pertama. Setelah dipercaya menjadi pengurus atau panitia masjid, dicari-cari apa "kekurangan" atau yang belum dilakukan masjid tersebut, seperti sertifikat dan lainnya. Langkah berikutnya setelah mengetahui "kelemahan" administrasi masjid tersebut, mereka berusaha membantu dengan mendapatkan dan mengurus sertifikatnya. Mereka akan mengeluarkan biaya pengurusan, baik separuh atau keseluruhannya.

Yang kedua, mereka menyampaikan nilai-nilai Islam ala gerakan mereka, bahkan mempermasalahkan ritual ibadah yang selama ini dilakukan warga nahdliyyin, seperti tarawih, qunut, tahlil, shalawat dengan menggunakan kata sayyidina dan lainnya. Hal ini juga di tegaskan Ismail Yusanto, juru bicara HTI bahwa ada perubahan tradisi di beberapa masjid NU;
ada beberapa masjid di sejumlah kantong NU di Jawa Timur yang mengalami perubahan tradisi. Fenomena ini bisa jadi karena masjidnya selama ini sepi sehingga perlu ada yang memakmurkan. Itu tidak ada masalah karena bagian dari fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). (Ismail Yusanto, Syirah: 2007).

Juga pernyataan ketua Hizbut Tahrir Indonesia terhadap tempat ibadah:
Pasalnya, menurut syariah Islam, masjid adalah wakaf dan itu adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Siapapun kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berhak dan wajib memakmurkannya (lihat QS at-Taubah [9]: 1). Sebaliknya, siapapun tidak berhak melarang kaum Muslim manapun untuk memakmurkan masjid. Jadi, tidak tepat masjid yang statusnya wakaf itu dimiliki dan dikuasai ormas tertentu.( Muhammad al-Khaththath: 2007).

Pernyataan PBNU terhadap gerakan ideologi transnasional, ditanggapi secara reaktif oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yaitu dengan menggelar Kongres Khilafah internasional di Jakarta, 12 Agustus 2007. Para fukaha men-ta‘rif-kan Khilafah sebagai: ri’âsat[un] ‘âmmat[un] li al-muslimîn jamî‘[an] fî ad-dunyâ li iqâmati ahkâmi syar‘i al-Islâmi wa hamli ad-da‘wah al-islâmiyyah ilâ al-‘âlam (kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia). Yang intinya mereka ingin memperjuangkan bukan sekadar Negara Islam Indonesia, tapi juga menciptakan seluruh Negara di dunia menjadi satu kesatuan dalam khilafah Islamiyah – persis sosialis/komunis yang mengidealkan seluruh Negara di dunia menjadi sosialis/komunis agar terwujud masyarakat tanpa kelas-

Gerakan Wahhabi
Wahabisme didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab. Ia bersekutu dengan suku Sa’ud, suku yang akhirnya menaklukkan sebagain besar jazirah Arab untuk mendirikan kerajaan Arab Saudi (1924). Ajaran utama Wahabi adalah menolak prinsip perantara (tawashshul) yang ada dalam ajaran sufi dan kaum awam. Melarang berdoa pada makam-makan tokoh Islam terkemuka. Bahkan Wahhabi telah banyak menghancurkan makam-makam para wali, memvonis kafir kepada kaum muslim yang tidak mengikuti pahamnya. Mereka juga sangat membenci dan memusuhi orang selain Islam. Orang Islam yang dianggap berbeda dengan mereka sama posisinya dengan orang non-Islam yang halal darahnya. Wahhabi tidak memperdulikan sejarah Islam, hukum Islam dan seluruh tradisi klasik yang dimiliki oleh umat Islam.

Menurut catatan Khaled Abou El Fadl (2005) dalam buku Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, kolaborasi Wahabi dan keluarga Al-Sa’ud (1902-1932) telah meninggalkan jejak intoleransi, kebencian, dan fanatisme yang laur biasa, yang berujung pada berbagai aksi kekerasan, pembantaian, dan tindakan kejam. Warisan tak manusiawi ini menjadi bagian dari masa silam yang akan terus membayangi negara Arab Saudi serta membentuk sensibilitas etis terhadap tipe Islam yang diajarkan Wahabi dan disebarluaskan ke seluruh dunia Islam.

Daftar dosa Saudi-Wahabi yang berupa aksi intoleran dan tindakan kejam pada abad ke 19 dan 20 telah sangat banyak menumpahkan darah, karena orang-orang Wahabi tanpa pandang bulu membantai kaum muslim, terutama mereka yang masuk dalam perkumpulan sufi dan sakte syiah. Pada 1802, tentara Wahabi membantai penduduk Karabala yang menganut Syiah, dan pada 1803, 1804, dan 1806, Wahhabi mengeksekusi santa banyak orang Sunni di Mekah dan Madinah, yang merka pandang, untuk satu atau lain alasan, sebagai pelaku bidah. Jumlah mereka yang dieksekusi dan di bantai oleh aliansi Saudi-Wahhabi tak pernah bisa dihitung. Namun dari catatan sejarah jelaslah bahwa jumlahnya berada dalam kisaran puluhan ribu, jika tidak lebih. Pada saat penaklukan tahap kedua di Semenanjung Arab, misalnya atas perintah Ibnu Sa’ud, Wahhabi mengeksekusi missal 40.000 orang dan mangamputasi 350.000. (Khaled Abou el Fadl: 2005).

Gerakan keagamaan dan politik Wahabi di Saudi Arabia pada abad ke-19 mendapat respon keras dari banyak umat Islam di dunia. Dari Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz guna memprotes sikap keagamaan dan politik kaum Wahabi di Saudi Arabia. Disepakati KH. A. Wahab Hasbullah dan Syaikh A Ghonaim al-Amir berangkat ke Arab Saudi untuk menyampaikan surat kepada penguasa negeri Hijaz dan Najed, yaitu Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud.

Keduanya membawa Surat Komite Hijaz yang berisi: permintaan mengenai ‘kemerdekaan bermadzhab’, dengan dilakukan giliran antara imam-imam sholat Jum’at di Masjidil Haram, diizinkan masuknya kitab-kitab karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain yang sudah terkenal kebenarannya. NU juga memohon ‘untuk tetap diramaikannya tempat-temoat bersejarah’ seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, sertam meminta penjelasan tertulis mengenai hokum yang berlaku di negeri Hijaz’ (Andree Feillard: 1999).

Komite Hijaz diterima dan langsung mendapat jawaban dari Raja Su’ud bahwa kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah dari madzhab apapun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat ziarah. NU dengan Komite Hijaznya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab Saudi agar memberikan ruang kebebasan dalam bermadzhab dalam Islam, karena Makkah dan Madinah merupakan kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya milik kelompok umat Islam yang berpaham Wahabi saja.

NU didirikan sebagai penjaga tradisi keagamaan Islam Indonesia dari anasir yang akan menghilangkan tradisi keagamaan masyarakat Islam Indonesia yang telah berjalan ratusan tahun sebagai penerus para Aulia.

Komitmen Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Sikap NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila dapat dilihat dalam lintas sejarah NU, mulai dari berdiri hingga hari ini. Lebih tegas Nahdlatul Ulama dalam Musayawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konfrensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sokolilo Surabaya Bulan Juli tahun 2006, telah meneguhkan kembali komitmen NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jamiyah dinniyah wa ijtimaiyyah) pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila, seperti yang disampaikan oleh Rois ‘Am PBNU KH. Sahal Mahkfudz dalam pidato iftitah di pembukaan Munsa dan Konbes NU tersebut. Dalam pidato itu ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final bagi Bangsa Indonesia.” Komitmen ini dilakukan NU sejak lama, sebelum bangsa ini lahir.

Kebangsaan (wathaniyah) NU dibuktikan dari kepedulian dan komitmennya dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang bangsa yang merdeka. Dan karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (KNRI). Komitmen ini ditunjukan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri adharuri bi as-syaukah tahun 1952 -ketetapan ini dan yang lain melalui kajian fiqh yang serius. Bukan sekadar melegitimasi Orla.

Ketetapan itu erat kaitannya dengan kemaslahatan umat- Kemudian ketetapan penerimaan asas tunggal 1984 (juga melalui kajian fiqh serius dan bukan sekadar melegitimasi Orba); taushiyah tentang reformasi tahun 1998; dan masih banyak lagi yang menunjukkan perhatian NU terhadap keutuhan KNRI. Belum lagi yang dilakukan oleh para kiai secara jamaah sebelum men-jam'iyyah. Perhatian NU dalam menjaga keutuhan NKRI itu memang sering tidak dipahami atau bahkan dipahami secara salah sebagai sikap oportunisme. Tapi hal itu-sebagaimana perjuangan mereka untuk negeri ini yang tidak dicatat dalam buku sejarah selama ini- tidak menjadi soal bagi kiai NU sejati. Karena bagi mereka penilaian Allah sematalah yang dihitung.

Yang menarik adalah pernyataan ini dimunculkan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dianggap sebagai organisasi tradisional/kaum sarungan, ketika sebagain besar organisasi Islam menyatakan diri untuk menegakkan syariat Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia, bahkan ada yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam. Pertanyaannya adalah apakah komitmen kebangsaan Nahdlatul Ulama ini untuk menegaskan posisi NU sebagai penjaga NKRI dan Pancasila atau dinyatakan sebagai anti tesis terhadap kelompok/organisasi Islam lain yang menyerukan Negara Islam, khilafah Islamiyah, syriat Islam, Perda syariat Islam dll.

Beberapa pernyataan tokoh NU mempertegas posisi NU vis a vis kelompok ‘fanatik’ Syariat Islam, seperti yang disinyalir para kiai NU sebagai kelompok yang ingin mengganti ideologi Negara. Sebut saja pernyataan ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur KH. Dr. Ali Machsan Musa, “Kelompok yang ingin mengganti NKRI dengan Negara Islam melalui Daulah Islamiyah dan khilafah 2014, mereka akan berhadapan dengan NU,” (Opini Indonesia, Agustus 2006).

NU berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. NU juga menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada disekitarnya, dan menampilkan sikap yang toleran terhadap nilai-nilai lokal. NU juga tidak dalam upaya menyatukan dan menghilangkan madzhab, seperti yang selama ini diperjuangkan dan menjadi asal-usul berdirinya NU, ketika masih menjadi Komite Hijaz yang menuntut kepada Kerjaan Saudi Arabia dan Wahabi agar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bermadzhab, diizinkan masuknya kitab-kitab karangan Imam Ghazali dan Imam Sanusi.

NU dilahirkan dari pergumulan dan reaksi difensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis di tingkat local dan perkembangan-perkembangan internasional yaitu, penghapusan khalifah, penyerbuan kaum Wahabi ke Makkah, dan Pan Islamisme. Ulama-ulama tradisional/pesantren merasa terdesak dengan adanya gerakan-gerakan kaum progresif dan upaya-upaya menghapus ajaran Sunni di Timur Tengah yang dilakukan Wahabi.

Berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma, keputusan-keputusan para ulama sebelumnya dan qiyas/analogi, kasus-kasus yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, diimplementasikan oleh NU dengan qanun asasi yang dibuat oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, berpedoman hokum pada empat madzhab yaitu, madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Hanafi, madzhab Imam Hambali, madzhab Imam Maliki. Dalam soal akidah menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, dan dalam soal tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Hujatul Islam Imam Ghazali.

NU dalam sejarah tidak pernah melakukan untuk menyatukan atau menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan yang ada, seperti yang dilakukan ketika protes terhadap sikap Wahabi di Saudi Arabia yang menunggalkan madzhab. NU juga tidak menghilangkan budaya lokal yang berbeda dengan NU, sebaliknya NU berartikulasi dan berinteraksi secara positif dengan tradisi-tradisi dan budaya masyarakat setempat –ini juga dibuktikan dengan serangan kelompok modernis terhadap NU yang menganggap dalam beragama telah melakukan tahayul, bid’ah dan kurafat (TBC) karena mengharagai budaya lokal-. Proses artikulasi tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan yang merupakan warisan budaya Nusantara. Nahdaltul Ulama juga memiliki wawasan multicultural, bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya lokal yang memiliki hak hidup.

Nahdlatul Ulama memiliki cirri khas keagamaannya sendiri yaitu, mampu menerapkan ajaran teks keagamaan yang bersifat sacral di dalam konteks budaya yang bersifat profane. NU telah membuktikan bahwa universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan dan berhadap-hadapan dengan budaya dan tradisi lokal atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya.

Mengutip pidato Iftitah KH. Sahal Mahfudz dalam pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama, NU sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalur formalistic atau politik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal. NU memiliki keyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat dibandingkan dengan mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat. Ini mempertegas posisi NU bahwa tidak akan memperjuangkan syariat Islam secara formal apalagi dengan mendesak Negara menggunakan asas Islam dan Peraturan-peraturan Daerah (Perda) syariat Islam.

Menutup tulisan ini kita bisa melihat bahwa NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jamiyyah diniyyah wa’ ijtimaiyyah) Islam terbesar di Indonesia memiliki komitmen terhadap perjuangan para ulama-ulama untuk tetap menjaga NKRI dengan azaz Pancasila.

Seperti rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya Juli 2006; meneguhkan kembali Pancasila dan NKRI dilakukan karena ada upaya pengkroposan dan penggrogotan yang melemahkan NKRI, ini dilihat dari menipisnya komitmen ke-Indonesiaan di sebagian kalangan masyarakat, juga berkembang sentiment dan perilaku keagamaan yang ekstrim. Pancasila sebagai pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dikesampingkan.

Dengan ini NU menegaskan kembali NKRI dengan dasar Pancasila merupakan bentuk final dari jerih payah perjuangan umat Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo dan dikukuhkan Muktamar NU 27 di Situbondo 1984. Bangsa ini harus berpegang teguh dan mengimplementasikan Pancasila sebagai Kalimatun sawa (kesamaan sikap dan langkah) dalam penyelenggaran Negara.
Selengkapnya >>>

Minggu, 09 Mei 2010

Membongkar Gerakan Wahhabi


Kecurigaan banyak orang terhadap ideologi wahhabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik. Gerakan wahhabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ''perantara positif'' sekaligus ''hikmah''. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ''keras'' dan ''ekstrem''.

Pertanyaannya, bagaimana menguji kebenaran asumsi dan stereotip negatif itu? Buku ini selain memberikan informasi penting tentang seluk-beluk yang menyangkut gerakan wahhabi, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya -bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mewabah bernama wahhabi itu.

Nur Khalik Ridwan, penulisnya, terlihat sangat bersemangat dan berapi-api mengeksplorasi bahasan tema dalam buku yang dirangkai dalam tiga seri ini. Sebab, jika dilihat dari aspek kapabilitas intelektualnya, Nur Khalik Ridwan dikenal sebagai sosok muda yang sangat produktif melahirkan karya bergenre kritis, terutama dalam bidang pemikiran keagamaan. Itu sebabnya, tidak heran, Kang Khalik -sapaan akrabnya- oleh sebuah majalah terkemuka di tanah air pernah dinobatkan sebagai salah seorang sosok penggiat revolusi kaum muda.

Buku ini adalah satu-satunya karya (setidaknya di Indonesia) yang berhasil merekam dan memotret keberadaan gerakan wahhabi secara kritis dan komprehensif. Pada buku pertama, diterangkan aspek historisitas, doktrin, dan penamaan istilah ''wahhabi'', yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dua kritikus legendaris atas wahhabi, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan as-Safi'i, juga tak luput dari perhatian Nur Khalik Ridwan yang ditampilkan secara dramatis. Buku pertama ini diberi judul Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam.

Menurut Nur Khalik Ridwan, penulisan buku ini dilandasi beberapa faktor penting, yaitu adanya pengaruh wahhabisme yang begitu besar terhadap banyak gerakan Islam dan radikalisasi-radikalisasi lain berbasis agama; belum ada kajian di Indonesia yang secara khusus membahas wahhabi dari akar sejarah hingga soal bagaimana posisinya di negara Arab; terjadinya tren pergeseran dan penolakan wahhabisme justru di kalangan ormas yang dulu terpengaruh ide-ide wahhabi; semakin gencarnya transnasionalisasi ide-ide wahhabi dan ekspansi yang bertubi-tubi, hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia; dan menjamurnya web blog yang dikuasai para wahhabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya (Jld I, hlm 3-10).

Buku kedua, yang bertitel Perselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan, memuat analisis tajam persoalan relasi gerakan wahhabi dengan kekuasaan -dalam hal ini Kerajaan Arab Saudi. Hamid Algar menulis komentar menarik dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), yang sayangnya, tidak dirujuk oleh Nur Khalik. Menurut Algar, dalam sejarah pemikiran Islam yang berlangsung lama dan sangat kaya, wahhabisme tidak menempati posisi yang memiliki arti penting. Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.

Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.

Pada buku ketiga, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, Nur Khalik mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis terhadap ajaran atau doktrin, serta cara berpikir wahhabi yang sangat eksklusif dan menekankan absolutisme. Nur Khalik mencatat, di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi'in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.

Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.

Di buku ketiga ini, diskusi tentang bagaimana gerakan wahhabi bergerilya ke wilayah-wilayah Islam, termasuk di Indonesia, terasa semakin lengkap dan menemukan pijakan relevansi dengan kenegaraan kita. Namun, Nur Khalik belum tuntas menganalisisnya. Sebab, menurut pengakuannya, dia masih dalam proses mengimajinasikan, dan direncanakan disusun menjadi buku tersendiri di lain waktu.

Yang pasti, inilah buku ''babon'' (induk) yang secara khusus membongkar gerakan wahhabi beserta peran dan implikasi politisnya. Selamat membaca. (*)

Judul Buku: Seri Gerakan Wahhabi

Penulis: Nur Khalik Ridwan

Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta

Cetakan : Pertama, November 2009

*) Ali Usman, magister agama dan filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
Selengkapnya >>>

Jumat, 07 Mei 2010

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.


KH Said Aqil Siradj
Selengkapnya >>>

  © Blogger template 'Isolation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP