Minggu, 02 Mei 2010

Komitmen Politik Kebangsaan dan Kerakyatan

Oleh M Nuridin

Selama dua hari lalu (27-30 Juli), Nahdlatul Ulama (NU) menggelar sebuah forum permusyawaratan tertinggi setelah muktamar, yaitu Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur. Pelaksanaan kegiatan itu menjadi pertaruhan NU dalam menentukan sikap dalam menjawab pelbagai persoalan aktual dalam konteks kebangsaan dan kerakyatan.

Persoalan aktual dalam konteks keagamaan mewujud dalam beberapa hal. Pertama, menguatnya radikalisme agama yang diekspresikan umat Islam secara beranekaragam. Ekspresinya bisa kita lihat dari berbagai kejadian, misalnya, penyerangan “pesantren” Yusman Roy—pelaku shalat bilingual di Malang; penyerangan kampus al Mubarok (markas Jamaah Ahmadiyah) di Parung, Bogor Jawa Barat; pengrusakan markas jamaah Shalafi di Lombok, NTB, dan pengrusakan kantor majalah Playboy di Jakarta.

Cara-cara kekerasan dan antidialog semacam itu telah menjadi cara pertama dan utama beberapa ormas Islam dalam menyikapi realitas aktual yang sarat dengan ragam pendapat. Logika kekuatan menjadi andalan dan lebih sering ditonjolkan. Sementara jalan dialog yang mengedepankan kekuatan logika mulai ditinggalkan. Hal itu menjadi ancaman kerja para pihak dalam merenda toleransi menuju relasi harmoni ditengah pluralitas yang menjadi identitas Indonesia.

Dalam konteks itu, penegasan dan sosialisasi karakter-moderat NU perlu kembali ditegaskan tidak saja di kalangan internal NU, tetapi juga masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sikap gamang, anarki dan main hakim sendiri dengan organisasi lain yang memiliki karakter dan cara berpikir yang berbeda, bisa dihindarkan.

Adapun sikap moderat NU tersimpul dalam beberapa postulat, antara lain, Fikrah Tawassutthiyah, yang artinya seimbang dalam menyikapi ragam persoalan dan perbedaan. Fikrah Tasamuhiyah, artinya toleran. Itu dikembangkan dalam iklim hidup bersanding dengan pihak lain walaupun cara pikir, budaya dan aqidahnya berbeda. Fikrah Ishlahiyah, artinya reformatif. Selalu berupaya dan sungguh-sungguh menuju ke arah perubahan yang lebih baik.
Dalam konteks itu, misalnya, upaya yang dilakukan antara lain kerja sama NU-Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Usaha itu patut diapresiasi dan ditingkatkan baik strategi ataupun gerakannya. Misalnya, berjejaring dengan lembaga-lembaga nonkeagamaan yang juga konsen dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, berbagai bencana yang seakan terus terjadi, mulai dari gempa di Irian, gempa dan tsunami Aceh, gempa di Yogyakarta, Jawa Tengah, letusan Gunung Merapi, lumpur panas di Sidoarjo, banjir di Kalimantan dan Sulawesi, ancaman kekeringan di seluruh Pulau Jawa selalu menyisakan persoalan, yaitu penanganan korban pasca-bencana.

Karena itu, sebagai wujud kontribusi atas kondisi yang seperti itu, NU melakukan pembentukan dan pendidikan satuan kemanusiaan dengan kemampuan evakuasi dan rehabilitasi mental, yang setiap saat bisa dan secara cepat bergerak ke daerah bencana. Dus, Barisan Serba Guna (Banser) yang relatif besar jumlahnya, bisa diarahkan untuk tujuan itu.

Jika ini menjadi komitmen dan serius dilakukan, tentu NU bisa kembali menunjukkan jati dirinya yang telah lama pudar, yaitu ngopeni atau berkhidmat untuk warga NU. Melalui itu pula, semangat pembebasan yang diusung Islam menjadi membumi, bukan untuk ramai diseminarkan dan hasilnya hanya menghiasi lemari buku.

Hal lain yang mendapat perhatian NU adalah separatisme di beberapa daerah di wilayah NKRI. Setelah Aceh, isu separatisme juga menghinggapi Papua. Terkait dengan hal itu, NU menilai perlu segera menindaklanjuti dengan bertindak arif dan mengedepankan prinsip akomodatif-dialogis. Bukan lagi dengan cara-cara militeristik dan over otoriter.
Kedua, terbitnya perda-perda bernuansa syariat Islam di beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari strategi kalangan Islam sendiri yang menghendaki formalisasi agama ke dalam area politik. Dan, hasil akhirnya tentu saja mematok terbentuknya negara Islam.

Untuk soal ini, NU-Muhammadiyah sudah bersepakat bahwa formalisasi syariat tidak perlu dan Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Yang diperlukan selanjutnya adalah pengejawantahan substansinya. Keduanya mengharapkan agama ditempatkan sebagai kekuatan moral-etik dalam kehidupan politik, bukan lagi secara formal menjadi institusi politik. Ketika agama (Islam) menjadi entitas politik yang bersifat legal-formal, maka sertamerta agama akan kehilangan makna pembebasannya. Walhasil, Islam adalah agama, bukan entitas politik atau kekuasaan.

Upaya menarik tangan kekuasaan dalam upaya penegakan moralitas hanya akan melahirkan kepatuhan semu dan masyarakat hipokrit. Karena kepatuhan yang ditunjukkan bukan karena kesadaran, tetapi sebab paksaan.
Untuk itu, cita dan kerja mewujudkan masyarakat bermoral, serahkan saja kepada tokoh-tokoh agama dan ormas keagamaan. Namun, satu hal yang harus dilakukan kalangan agamawan dan ormas keagamaan adalah kembali kepada jati diri menjalankan peran pendidikan moral dan pendewasaan keberagamaan. Bukan masuk dalam hiruk pikuk permainan politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Tentu dengan tanpa meninggalkan sikap kritis terhadap pemerintahan.
Masih dalam konteks perda bernuansa syariat, NU perlu menekankan pentingnya prinsip objektifikasi perda. Ini penting menjadi perspektif di tengah iklim Indonesia yang plural, utamanya dari aspek agama. Hindari penggunaan satu sudut pandang keagamaan terhadap sebuah persoalan demi menjaga psikologis umat agama lain. Gunakan sudut pandang ke-Indonesia-an yang memiliki pretensi memayungi sudut pandang agama-agama lain yang ada.
Pandangan tersebut di atas bisa menjadi wujud aktualisasi peran politik kebangsaan yang diusung NU. Jika awal-awal kemerdekaan diekspresikan dengan perjuangan fisik melawan penjajah, maka kini ekspresi politik kebangsaan NU adalah bukan sekadar menyatakan bahwa NKRI dan Pancasila sudah final, tetapi juga mengupayakan sosialisasi dan penyadaran kepada kelompok-kelompok yang “berbeda” dan masih saja bernafsu merusak NKRI dan mengubah Pancasila.

M. Nuridin adalah peneliti di PP Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM NU

Dimuat di Harian Suara Karya Sabtu, 29 Juli 2006

0 komentar:

  © Blogger template 'Isolation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP